Panik Belajar Coding? Tunggu Dulu, Kunci Sukses di Era AI Ternyata Bukan Itu
Gempuran AI bukan lagi film fiksi ilmiah, tapi realita di meja kerja kita. Banyak profesional yang mendadak panik, berlomba-lomba ikut kelas coding atau data science, khawatir posisi mereka akan usang. Tapi, apakah itu langkah yang paling tepat?
Tunggu dulu. Robert E. Siegel, seorang Dosen di Stanford Graduate School of Business, punya pandangan berbeda. Setelah 23 tahun meneliti para pemimpin dan profesional dalam menghadapi perubahan disruptif, ia menemukan sebuah pola. Dari studinya terhadap lebih dari 400 pemimpin sukses di seluruh dunia, Siegel menyimpulkan bahwa di era AI, justru skill manusialah yang menjadi penentu utama kesuksesan jangka panjang.
Artikel ini akan “membedah” 5 skill non-teknis yang ia identifikasi. Lebih dari itu, kami akan menerjemahkannya ke dalam langkah-langkah praktis yang bisa langsung Anda terapkan dalam konteks dunia kerja di Indonesia.
Skill #1: Jadi Pembelajar Seumur Hidup (Bukan Sekadar Ikut Tren)
Menurut Robert E. Siegel dari Stanford, orang-orang paling sukses adalah mereka yang secara aktif terus mencari pengetahuan baru. Mereka sadar bahwa mengabaikan perubahan teknologi adalah jebakan berbahaya yang bisa membuat karier mereka usang. Kuncinya adalah secara sadar keluar dari “gelembung informasi”.
Dalam konteks kerja di Indonesia, ini bukan sekadar soal mengoleksi sertifikat webinar untuk dipajang di LinkedIn. Ini adalah tentang kemauan tulus untuk memahami perubahan pasar. Bayangkan seorang brand manager yang produknya menyasar Gen Z; ia akan proaktif belajar tentang tren di TikTok dan live-commerce, meskipun itu di luar deskripsi pekerjaan utamanya, semata-mata untuk tetap relevan.
Memulainya tidak harus rumit. Anda bisa mulai dengan menjadwalkan “jam belajar” selama 30-45 menit setiap Jumat pagi di kalender Anda untuk membaca artikel atau menonton video di luar bidang utama Anda. Selain itu, untuk benar-benar keluar dari zona nyaman, cobalah untuk mengajak satu kolega dari divisi yang paling tidak Anda pahami—misalnya dari tim IT atau legal—untuk makan siang atau ngopi sebulan sekali dan tanyakan tentang tantangan terbesar mereka.
Skill #2: Seimbangkan Otot & Hati (Tegas tapi Tetap Manusiawi)
AI sangat hebat dalam logika dan analisis data, tapi ia tidak punya empati. Siegel mencontohkan bagaimana pemimpin hebat, seperti Kathy Mazzarella, CEO Graybar, memimpin dengan filosofi “tangan besi bersarung tangan lembut” (iron fist in a soft glove). Artinya, mereka bisa menuntut pertanggungjawaban dan target yang tinggi, namun selalu memulai dengan percakapan terbuka dan empati saat melihat ada anggota tim yang kesulitan.
Di lingkungan kerja Indonesia yang terkadang masih top-down, skill ini menjadi pembeda krusial. Pemimpin masa depan bukanlah yang paling keras berteriak, melainkan yang paling jago menyeimbangkan target. Mereka adalah orang yang bisa berkata, “Target kita kuartal ini naik 20%”, namun di saat yang sama bertanya, “Apa ada kendala yang bisa saya bantu agar kita bisa capai target itu bersama?”.
Untuk melatihnya, biasakan untuk memberikan feedback korektif dalam percakapan empat mata, bukan di forum terbuka. Selain itu, latih diri Anda untuk mengubah pertanyaan dari sekadar “Kapan beres?” menjadi “Bagaimana progresnya dan apa ada kendala?”.
Skill #3: Berpikir Ekosistem (Jangan Jadi Katak dalam Tempurung)
Kemampuan untuk memahami posisi Anda dalam sebuah sistem yang lebih luas adalah skill yang semakin krusial. Siegel menjelaskan, seorang pemimpin harus bisa menyeimbangkan kebutuhan berbagai pihak—internal dan eksternal—karena inovasi seringkali datang dari luar silo departemen kita sendiri.
Bayangkan seorang manajer produk di perusahaan fintech di Indonesia. Ia tidak bisa hanya memikirkan kecanggihan fitur aplikasinya. Ia harus paham regulasi OJK, kebiasaan belanja merchant, keterbatasan infrastruktur internet di berbagai daerah, hingga tren di aplikasi kompetitor. Jika ia hanya berpikir di dalam “tempurung” tim produknya, ia akan gagal.
Cara sederhananya, untuk proyek Anda berikutnya, coba gambar “peta pengaruh” di atas kertas: siapa saja pihak yang terpengaruh dan siapa yang dapat memengaruhi keberhasilan proyek ini. Ini membantu Anda melihat gambaran besarnya. Untuk memperluas wawasan, cobalah untuk mengikuti akun media sosial atau newsletter dari 1-2 industri yang sama sekali berbeda dengan Anda.
Skill #4: Bangun Relasi Tulus, Bukan Cuma Jaringan Kontak
Profesional paling efektif, menurut Siegel, adalah mereka yang membangun hubungan kuat di dalam dan di luar organisasi. Tujuannya bukan sekadar menambah jumlah kontak di LinkedIn, tetapi untuk mendapatkan wawasan kritis dari berbagai perspektif yang mungkin akan terlewatkan jika hanya bekerja sendiri.
Dalam budaya high-context seperti di Indonesia, poin ini menjadi lebih penting lagi. Kepercayaan dan hubungan personal seringkali lebih berharga daripada sekadar transaksi profesional. Relasi yang tulus membuka pintu yang tidak akan pernah bisa dibuka oleh email formal atau pesan WhatsApp yang kaku.
Sebagai langkah awal, identifikasi 3 orang di dalam dan 3 orang di luar perusahaan yang bisa menjadi “dewan penasihat” pribadi Anda, lalu jadwalkan interaksi rutin dengan mereka. Selain itu, cobalah untuk menawarkan satu bantuan konkret kepada satu kolega dari departemen lain setiap minggu tanpa diminta. Ini adalah investasi relasi jangka panjang yang sangat berharga.
Skill #5: ‘Nyaman’ dengan Perubahan (Satu-satunya yang Abadi)
Mengutip Corie Barry, CEO Best Buy, yang pernah dibagikan Siegel kepada mahasiswanya: “Anda tidak bisa jatuh cinta dengan cara Anda berbisnis hari ini.” Satu-satunya karyawan yang bisa bertahan dan berkembang dalam jangka panjang adalah mereka yang bersedia dan bahkan antusias untuk melakukan hal-hal yang sama sekali berbeda dari masa lalu.
Kita bisa melihatnya dengan jelas di Indonesia. Lanskap digital berubah begitu cepat—dari kemunculan platform baru, perubahan perilaku konsumen, hingga regulasi pemerintah yang dinamis. Adaptabilitas bukan lagi sebuah pilihan, melainkan skill bertahan hidup nomor satu.
Untuk membangun otot adaptabilitas ini, lakukan “sprint pribadi” dengan mencoba satu aplikasi, tool, atau cara kerja baru setiap bulan selama 30 hari, lalu evaluasi hasilnya. Selain itu, biasakan untuk melakukan sesi “post-mortem” setelah proyek selesai, di mana fokusnya bukan “siapa yang salah”, tapi “lain kali, apa yang bisa kita lakukan secara berbeda agar lebih baik?”.
Intinya: AI Justru Mengasah Sisi Manusiawi Kita, Bukan Membunuhnya
Kelima skill di atas—keingintahuan, empati, pemikiran luas, kolaborasi, dan adaptabilitas—adalah hal-hal yang pada dasarnya sangat “manusiawi” dan tidak dapat diotomatisasi. Kehadiran AI justru memaksa kita untuk berhenti menjadi “robot” yang melakukan tugas berulang, dan mulai menjadi versi terbaik dari diri kita sebagai manusia: pemikir yang kreatif, strategis, dan penuh perasaan.
Frequently Asked Questions (FAQ)
Apakah artinya skill teknis seperti coding sudah tidak penting lagi?
Tidak sama sekali. Skill teknis tetap penting, terutama di bidang-bidang tertentu. Namun, artikel ini menekankan bahwa skill teknis saja tidak cukup. Tanpa diimbangi 5 skill non-teknis ini, skill teknis Anda tidak akan bisa dimanfaatkan secara maksimal untuk memimpin dan menciptakan dampak besar.
Saya bukan seorang manajer. Apakah 5 skill ini tetap relevan untuk saya?
Sangat relevan. Kelima skill ini adalah fondasi untuk pertumbuhan karier. Mempraktikkannya sejak dini akan membuat Anda menjadi kontributor individu yang lebih berharga dan mempersiapkan Anda untuk menjadi pemimpin di masa depan, baik secara formal maupun informal.
Bagaimana cara meyakinkan atasan saya yang ‘kolot’ tentang pentingnya skill non-teknis ini?
Cara terbaik adalah dengan menunjukkan hasil, bukan hanya berdebat. Terapkan langkah-langkah praktis di atas dalam pekerjaan Anda. Saat Anda bisa menyelesaikan masalah lintas divisi (berpikir ekosistem) atau memberikan solusi inovatif dari hasil belajar Anda (pembelajar seumur hidup), atasan Anda akan melihat nilainya secara langsung.
Kesimpulan: Jadilah Pemimpin Sistem, Bukan Sekadar Pengguna Alat
AI adalah alat yang luar biasa canggih. Tapi pada akhirnya, ia tetaplah sebuah alat. Manusia-lah yang mengoperasikan sistem di mana alat itu digunakan. Dengan menguasai 5 skill ini, Anda tidak hanya akan menjadi pengguna AI yang mahir, tetapi juga seorang “Pemimpin Sistem” (Systems Leader)—istilah dari Robert E. Siegel untuk individu yang mampu berkembang di tengah tekanan dan perubahan apa pun.
Masa depan karier Anda tidak ditentukan oleh seberapa canggih AI, tetapi oleh seberapa manusiawi dan adaptif diri Anda.