Intro: Para Ahli AI Lebih Optimis, Tapi Mereka Sendiri Mengakui Ada Pekerjaan yang Bakal Kena Imbasnya
Di tengah gelombang diskusi tentang kecerdasan buatan, ada sebuah jurang pemisah yang menarik: para ahli yang bekerja langsung dengan AI cenderung jauh lebih optimis tentang masa depan dibandingkan masyarakat umum. Sebuah laporan komprehensif dari Pew Research Center menunjukkan bahwa 56% ahli AI percaya teknologi ini akan berdampak positif, sementara hanya 17% masyarakat awam yang merasakan hal yang sama.
Namun, optimisme tersebut datang dengan sebuah catatan penting. Meskipun mereka yakin AI akan meningkatkan efisiensi dan mendorong ekonomi, para ahli ini pun mengakui bahwa beberapa profesi spesifik akan mengalami guncangan besar dan berisiko berkurang drastis dalam 20 tahun ke depan.
Artikel ini tidak bertujuan untuk menakut-nakuti. Sebaliknya, kami akan mengungkap 5 profesi yang menurut para ahli paling berisiko, memberikan konteksnya untuk pasar kerja di Indonesia, dan yang terpenting, membahas peluang transformasi dan langkah-langkah antisipasi yang praktis.
Profesi #1: Kasir (Disetujui oleh 73% Ahli)
Tidak mengejutkan, peran kasir menempati urutan teratas dalam daftar ini, dengan 73% ahli setuju bahwa pekerjaan ini akan jauh berkurang. Perkembangan teknologi pembayaran otomatis dan kios swalayan (self-service) menjadi alasan utamanya. Mesin tidak hanya lebih cepat, tetapi juga mengurangi potensi human error.
Di Indonesia, kita sudah melihat tren ini secara langsung. Pembayaran non-tunai melalui QRIS kini ada di mana-mana, dari supermarket besar hingga warung kecil. Restoran cepat saji ternama telah lama menggunakan mesin pemesanan mandiri. Beberapa supermarket bahkan mulai memperkenalkan fitur “scan & go” yang memungkinkan pembeli memindai dan membayar belanjaan mereka sendiri melalui aplikasi.
Meskipun begitu, ini bukan berarti akhir dari segalanya. Peluang transformasi bagi seorang kasir terletak pada skill yang tidak dimiliki mesin: interaksi manusia. Skill layanan pelanggan yang sudah terasah bisa dialihkan ke peran baru seperti Customer Experience Associate, yang tugasnya bukan lagi memindai barang, melainkan membantu pelanggan menemukan produk atau menangani keluhan kompleks yang tidak bisa diselesaikan oleh mesin. Peran lain yang potensial adalah menjadi Inventory Management Assistant, yang memastikan stok barang di rak sesuai dengan data di sistem—sebuah tugas yang membutuhkan ketelitian manusia.
Profesi #2 & #3: Pengemudi Truk dan Pekerja Pabrik (Disetujui >60% Ahli)
Dua profesi ini, yang menjadi tulang punggung sektor logistik dan manufaktur, juga dinilai berisiko tinggi oleh lebih dari 60% ahli. Teknologi kendaraan otonom dan robotika di lini perakitan menjadi pendorong utama perubahan ini. Menariknya, masyarakat umum tidak seyakin para ahli, terutama terkait pengemudi truk; hanya 33% dari mereka yang percaya pekerjaan ini akan berkurang.
Konteks di Indonesia sedikit unik. Kondisi jalan yang tidak terduga dan tantangan logistik yang kompleks mungkin akan memperlambat adopsi truk otonom sepenuhnya. Namun, bukan berarti AI tidak berperan; saat ini AI sudah banyak dipakai untuk mengoptimalkan rute, manajemen armada, dan memprediksi jadwal perawatan, yang secara bertahap mengurangi kebutuhan akan peran manusia dalam perencanaan. Di sektor manufaktur, terutama di kawasan industri seperti Cikarang, otomatisasi pabrik sudah menjadi standar untuk meningkatkan efisiensi.
Peluang transformasi bagi kedua peran ini adalah bergeser dari operator fisik menjadi pengawas sistem. Seorang pekerja pabrik yang tadinya mengoperasikan satu mesin secara manual bisa meningkatkan keahliannya untuk menjadi operator pusat kendali yang mengawasi puluhan robot, atau menjadi teknisi perawatan untuk sistem otomatis tersebut. Sementara itu, pengemudi truk bisa beralih ke peran koordinator logistik atau manajer armada, yang menggunakan dashboard AI untuk memastikan seluruh proses pengiriman berjalan lancar.
Profesi #4: Jurnalis (Disetujui oleh 60% Ahli)
Kehadiran AI generatif yang mampu menulis teks dengan cepat membuat 60% ahli percaya bahwa peran jurnalis tradisional akan terdampak. AI kini mampu merangkum informasi dan menulis berita sederhana berdasarkan data, seperti laporan cuaca, hasil pertandingan olahraga, atau pergerakan saham.
Di lanskap media Indonesia, kita sudah melihat kemunculan konten yang sebagian dihasilkan oleh AI di beberapa portal berita, terutama untuk artikel-artikel singkat berbasis data. Ini menandakan bahwa peran jurnalisme sedang bergeser. Nilai seorang jurnalis bukan lagi terletak pada kecepatan melaporkan “apa yang terjadi”, melainkan pada kemampuan menganalisis “mengapa itu terjadi” dan “apa dampaknya”.
Langkah antisipasi yang paling efektif adalah dengan membangun keunikan yang tidak dimiliki AI. Ini berarti membangun personal brand sebagai ahli di bidang tertentu (spesialisasi), seperti kebijakan teknologi, lingkungan, atau ekonomi syariah. Selain itu, menguasai kemampuan bercerita di berbagai platform (teks, audio, video) dan fokus pada karya-karya investigasi mendalam yang membutuhkan intuisi dan jaringan narasumber manusia adalah kunci untuk tetap tak tergantikan.
Profesi #5: Software Engineer (Disetujui oleh 50% Ahli)
Ini mungkin poin yang paling mengejutkan, terutama bagi mereka yang bekerja di industri teknologi. Separuh dari para ahli yang disurvei percaya bahwa pekerjaan software engineer akan berkurang. Alasannya, AI modern seperti Copilot atau Devin kini mampu membantu menulis, men-debug, bahkan mengoptimalkan kode, yang berpotensi mengurangi jumlah lowongan untuk software engineer tingkat junior yang tugasnya lebih repetitif.
Untuk ekosistem startup di Indonesia yang sedang berkembang pesat, ini adalah sinyal penting. Permintaan di masa depan akan bergeser dari “tukang ketik kode” menjadi “arsitek sistem”. Perusahaan akan mencari talenta yang bisa menggunakan AI sebagai asisten super-pintar untuk merancang dan membangun sistem yang lebih kompleks dalam waktu yang lebih singkat.
Langkah antisipasi bagi para engineer adalah dengan tidak hanya fokus pada penguasaan bahasa pemrograman. Mereka harus memperluas wawasan ke arsitektur sistem, integrasi model AI ke dalam produk, dan skill problem-solving tingkat tinggi. Tujuannya jelas: menjadi otak di balik proyek, bukan hanya tangan yang mengetik kode.
Bukan Cuma Soal ‘Apa’, Tapi Juga ‘Siapa’: Perbedaan Pandangan di Kalangan Ahli
Laporan Pew Research juga mengungkap temuan menarik lainnya. Ternyata, di kalangan para ahli pun, pandangan tentang AI tidak seragam. Salah satu yang paling menonjol adalah perbedaan gender: laki-laki di bidang AI hampir dua kali lebih mungkin (63% vs 36%) untuk mengatakan bahwa dampak AI akan positif dibandingkan perempuan di bidang yang sama.
Ini adalah pengingat penting bahwa pengembangan AI yang bertanggung jawab harus melibatkan sudut pandang yang beragam. Jika teknologi ini hanya dibangun oleh satu kelompok demografis, ada risiko bias dan dampak negatif yang mungkin tidak terduga bagi kelompok lain.
Kesimpulan: Ini Bukan Kiamat, Tapi Panggilan untuk Beradaptasi
Melihat daftar pekerjaan di atas mungkin menimbulkan kecemasan. Namun, tujuan dari data ini bukanlah untuk menakut-nakuti, melainkan untuk membangun kesadaran. Laporan ini tidak mengatakan bahwa profesi-profesi tersebut akan lenyap total, melainkan jumlahnya akan jauh berkurang dan perannya akan bertransformasi secara fundamental.
Ini adalah sebuah panggilan untuk beradaptasi. Kunci untuk tetap relevan di tengah perubahan ini bukanlah dengan menolak teknologi, melainkan dengan memanfaatkannya dan fokus pada pengembangan skill-skill yang melengkapi—bukan bersaing dengan—kemampuan AI.
Frequently Asked Questions (FAQ)
Apakah ini berarti saya harus ganti profesi sekarang juga?
Tidak. Ini berarti Anda perlu mulai memikirkan bagaimana peran Anda akan bertransformasi. Fokuslah pada pengembangan skill yang tidak bisa diotomatisasi, seperti pemecahan masalah kompleks, kreativitas, dan interaksi manusia. Tujuannya adalah beradaptasi, bukan panik berganti profesi.
Bagaimana dengan pekerjaan kreatif seperti desainer atau musisi?
Pekerjaan kreatif juga terdampak, namun transformasinya berbeda. AI menjadi alat bantu (asisten) yang sangat kuat untuk mempercepat proses kreatif, bukan menggantikan ide dan rasa seni manusianya. Desainer yang mahir menggunakan AI akan jauh lebih produktif daripada yang tidak.
Di mana saya bisa mulai belajar skill untuk ‘bertahan hidup’ dari AI?
Tempat terbaik untuk memulai adalah dengan memahami dasar-dasar AI dan bagaimana AI bisa diterapkan di bidang Anda. Bergabung dengan komunitas seperti AI For Productivity adalah langkah awal yang bagus untuk mendapatkan informasi terkurasi dan berdiskusi dengan para praktisi.